PEKANBARU – Pakar lingkungan dari UIN Suska Riau Dr Elviriadi menyatakan konflik berkepanjangan antara PT Peputra Supra Jaya (PSJ) dan PT Nusa Wana Raya (NWR) terkait lahan di Desa Pangkalan Gondai, Langgam, Kabupaten Pelalawan, akibat kurangnya pengawasan dari pemerintah dari tingkat pusat dan daerah.
“Dalam kasus lahan di Gondai izin kehutanan yang dikeluarkan pemerintah masih kurang dan sangat minim aspek sosial yuridis. Baik itu berupa HPH, HTI, bahkan juga HGU,” kata Elviriadi, seperti dikutip Antara, Selasa (30/3/2021).
Selain itu, kata pria yang juga sebagai Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah itu, ada dua hal yang cukup krusial dalam pembangunan usaha hutan. Di antaranya adalah kurangnya pengawasan visi kehutanan termasuk perencanaan hutan. Kemudian, benturan dengan masyarakat adat yang sudah bermukim di lahan yang diberi izin. “Dua hal itulah yang menjadi faktor utama konflik agraria di Indonesia. Seperti halnya di Desa Gondai itu,” terangnya.
Menurut dia, kepala persukuan atau ninik mamak adat dapat menyatakan keberatan atas izin konsesi. Dengan alasan lahan yang hendak dibuka itu difungsikan sebagai keperluan umum. Seperti pemakaman umum, padang ternak, pekarangan masjid dan sekolah atau bahkan artefak budaya dan hutan larangan. “Ada win-win solution dari kedua belah pihak. Untuk anak kemanakan Batin Palubi dan Batin Sungai Serdang diberi areal pecadangan seluas 4.000 hektar. Dan batin pesukuaan lainnya 1.000 hektar, sesuai kesepakatan di Lembaga Adat Petalangan tahun 1998. Kemudian apakah ini disetujui pemerintah? Bagaimana kelanjutannya? Kok sekarang timbul konflik sehingga kebun sawit warga hendak dieksekusi?,” tanyanya.
Dengan begitu, pria yang kerap jadi saksi ahli itu mengatakan bahwa itu akibat dari lemahnya pengawasan pihak terkait. Dia juga mengaku telah berkoordinasi dengan Sekjend Kementerian LHK Bambang Hendroyono, terkait permasalahan ini. “Kata Pak Sekjend penyelesaian sawit rakyat dalam izin konsesi diatur dalam UU Cipta Kerja. Jadi tak bisa dieksekusi begitu saja. Saya juga sudah berkoordinasi dengan Deputi II Kantor Staf Presiden Bung Abetnego Tarigan. Intinya KSP minta penyelesaian konkrit setelah penundaan eksekusi,” tutur akademisi. (M.PANJAITAN)